RUU Pilkada: Preseden buruk demokrasi Indonesia

Pangeran Siahaan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

RUU Pilkada: Preseden buruk demokrasi Indonesia

AFP

Menghancurkan kembali apa yang sudah dibangun dalam 1 dekade terakhir adalah preseden buruk bagi demokrasi Indonesia

Ada sesuatu yang secara fundamental mencengangkan jika kita menganggap bahwa syarat utama demokrasi adalah kesiapan rakyat untuk menerima dan mengaplikasikan sistem tersebut. 

Pendapat ini mengemukakan alasan bahwa kericuhan yang menyertai demokrasi adalah buah dari tingkat pemahaman yang rendah dari rakyat akan demokrasi itu sendiri, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus pemilihan kepala daerah. Tingkat pendidikan mayoritas rakyat Indonesia plus tingkat kesejahteraan dianggap sebagai indikator bahwa pemilihan kepala daerah langsung, sebagai perwujudan demokrasi, bukanlah sesuatu yang tepat untuk diterapkan di negara ini. 

Ini tentu saja mengusik karena demokrasi macam apa yang menuntut bahwa rakyatnya harus memiliki tingkat intelektual dan berpenghasilan nominal tertentu untuk bisa berpartisipasi di dalamnya? Seolah-olah bahwa mereka yang “bodoh” dan “miskin” tidak boleh turut andil dalam demokrasi.  

Pemahaman bahwa rakyat tidak siap untuk mempraktekkan kedaulatan mereka dalam demokrasi adalah lagu lama yang selalu dilantunkan oleh rezim otoriter sejak beratus tahun lalu. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan diri klasik dari penguasa yang melihat bahwa rakyat ternyata mampu untuk bersuara dengan lantang, yang sering kali berbeda dengan apa yang mereka kehendaki. 

Pengesahan RUU Pilkada Jumat dinihari (26/9) yang akan mengembalikan otoritas penentuan kepala daerah kepada badan legislatif daerah, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), adalah sebuah kemunduran dalam kehidupan demokrasi kita. Hanya 10 tahun setelah Undang-Undang Pemerintahan Daerah — yang menjadi landasan hukum pilkada langsung — disahkan, mayoritas wakil rakyat yang konon terhormat menganulir kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerahnya secara langsung. 

Hanya 10 tahun setelah mengatakan “Ya, rakyat harus diberikan mandat”, mereka sekarang mengatakan, “Tidak, rakyat tidak siap”.  

Seandainya pilkada langsung tidak pernah diloloskan, maka ini akan lain soal, tapi menghancurkan kembali apa yang sudah dibangun dalam 1 dekade terakhir adalah preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.  

Mengacu pada pola pikir yang sama, apa yang akan mencegah para wakil rakyat di Senayan untuk memutuskan di masa depan bahwa rakyat Indonesia tidak siap untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, dan oleh karenanya wewenang pemilihan presiden harus dikembalikan kepada MPR? 

Ini adalah pola pikir linear yang akan berujung pada pemahaman bahwa demokrasi tidak cocok di Indonesia karena masyarakatnya belum siap dan Indonesia harus kembali dipimpin diktator otoriter karena mayoritas rakyat Indonesia terlalu bodoh dan miskin untuk menentukan nasibnya sendiri. 

Ketidakpercayaan para wakil rakyat kepada kemampuan rakyatnya untuk mengambil keputusan adalah sesuatu yang menggelikan karena keberadaan mereka sebagai anggota parlemen pun karena dipilih rakyat. Jika mereka meragukan legitimasi rakyat dalam menentukan kepala daerahnya, apa yang membuat posisi mereka sebagai perwakilan rakyat yang mereka ragukan tidak terancam legitimasinya? 

Betul, bahwa penyelenggaraan pilkada langsung dalam prakteknya belum sempurna, tapi kita semua sedang belajar. Hanya karena keretanya masih berjalan lambat bukan berarti kereta tersebut berada di jalur yang salah.

Sulit dipercaya bahwa ada golongan masyarakat yang tidak mampu berdemokrasi. Yang ada hanyalah mereka yang belum terbiasa. Jika kesempatan membiasakan diri ditiadakan, maka selamanya kita akan hidup dalam ketakutan bahwa kita memang tidak mampu berdemokrasi.

Seperti yang diutarakan oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant, “If one accepts this assumption (that some people are not ripe for freedom), freedom will never be achieved; for one can not arrive at the maturity for freedom without having already acquired it; one must be free to learn how to make use of one’s powers freely and usefully. The first attempts will surely be brutal and will lead to a state of affairs more painful and dangerous than the former condition under the dominance but also the protection of an external authority. However, one can achieve reason only through one’s own experiences and one must be free to be able to undertake them.” —Rappler.com

 


Pangeran Siahaan adalah seorang penulis dan co-founder Provocative Proactive. Follow Twitternya di @PangeranSiahaan

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!