Mempertanyakan kewenangan Kemenkominfo memblokir situs

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mempertanyakan kewenangan Kemenkominfo memblokir situs
Kemenkominfo telah memblokir sejumlah situs yang dianggap radikal, tapi apakah pemblokiran adalah hak prerogatif mereka?

JAKARTA, Indonesia — Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk memblokir 19 situs yang disinyalir radikal mendapat respon beragam. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit pula yang mengecam, salah satunya mengenai kewenangan Kemenkominfo untuk melakukan hal tersebut.

Tujuh pimpinan media yang diblokir sudah mendatangi Kemenkominfo pada Selasa, 31 Maret, untuk mempertanyakan alasan di balik pemblokiran. Tindakan tersebut juga dinilai tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan. Sementara itu, gerakan #KembalikanMediaIslam juga meramaikan aksi protes langkah pemerintah ini.

(BACA: #KembalikanMediaIslam: Media Islam protes pemblokiran situs ‘radikal’)

Satu hal yang juga mencuat adalah, apakah Kemenkominfo bisa begitu saja memblokir sebuah situs hanya berdasarkan permintaan dari sebuah institusi lainnya?

“Kemkominfo sebagai pihak yang bertanggung jawab, berdasarkan Peraturan Menteri tentang konten negatif di Internet, wajib melayani pengaduan dari institusi terkait,” jelas juru bicara Kemenkominfo Ismail Camadu pada Rappler, Senin, 30 Maret.

Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tanggal 17 Juli 2014 yang bisa diakses di sini

Peraturan ini mengatur situs apa saja yang dianggap bermuatan negatif dan apa peran pemerintah serta penyelenggara jasa akses Internet (ISP) dalam penanganannya.

Pasal 5 menyatakan bahwa lembaga pemerintah bisa meminta pemblokiran situs negatif sesuai kewenangannya kepada Direktur Jenderal Kementerian tersebut. Selanjutnya, pasal 8 mewajibkan ISP memblokir situs yang diminta.

Kemenkominfo jadi penguasa tunggal

Peneliti senior dari Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, masalahnya bukan pada implementasi peraturan, namun pada peraturan itu sendiri.

Peneliti senior ICJR Anggara, korban UU ITE dari Makassar M. Arsyad, dan pjs. direktur Medialink Mugtaba dalam penjelasan mengenai kasus UU ITE. Foto oleh Adelia Putri/Rappler

“Kalau kita bergerak dari Permen, ya betul. Tidak ada yang salah. Masalahnya, Permennya saja sudah salah karena menempatkan Kemenkominfo sebagai penegak hukum. Lho, Kemenkominfo ini siapa?” tutur Anggara.

“Penegak hukum kan ada lahannya sendiri. Ada penyidik, penuntut, pengadilan. Kan aneh kalau kita nambah satu lagi, Menkominfo.”

Menurut Anggara, kekuasaan kementerian yang terlalu besar juga menjadi masalah dalam hal ini, sehingga proses penegakkan hukum tidak bisa berjalan dengan benar.

“Dalam Permen itu, Kemenkominfo malah menjadi penguasa tunggal yang nggak bisa di-review oleh siapapun. Dia yang lapor, dia yang periksa, dia yang nuntut, dia juga yang mutusin. Bayangkan 4 kekuatan itu dipegang sendiri,” lanjutnya.

“Padahal situ-situs yang diblokir itu adalah yang dianggap melanggar hukum, pidana. Artinya, kalau memang seperti itu, ya harus diproses pidana. Orangnya diambil sebagai tersangka, kejaksaan yang meminta situs ditutup, lalu diproses, betul atau tidak ini melanggar. Kalau nggak terlibat, ya harus dibuka lagi. kalau nggak terbukti, ya dibuka lagi. Jadi, semua orang bisa bertarung dengan masing-masing argumen,” ujarnya.

Dari tatanan hukum pun, sambung Anggara, Peraturan Menteri ini bermasalah. Pembatasan konten harus diatur dalam undang-undang, bukan sekedar Peraturan Menteri.

“Pelarangan peredaran buku saja harus berdasarkan putusan pengadilan. Film diatur dalam UU Film. Untuk Internet, yang jangkauannya lebih banyak, masa malah diatur dengan Permen?” tanyanya. 

Bila peraturan ini tidak ditindaklanjuti, Anggara khawatir kemungkinan salah blokir semakin tinggi dan orang-orang yang dirugikan tak bisa meminta keadilan.

“Sudah ada beberapa kasus pemblokiran sebelumnya, seperti situs LGBT dan (gerakan) air susu ibu. Ini masalahnya, tidak ada mekanisme keberatan yang bisa diadukan oleh situs yang ditutup. UU ITE sendiri bilang polisi bisa mengajukan permintaan pemblokiran ke pengadilan, tapi ini tidak dilakukan,” pungkasnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!