Mengapa saya membaca dua buku dalam sehari

Aulia Halimatussadiah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa saya membaca dua buku dalam sehari

EPA

Berapa buku yang Anda baca setiap hari? Tidak satupun? Jika iya, maka anda harus baca tulisan Ollie. Bagaimana ia menyempatkan diri membaca buku 2 kali sehari.

Banyak komentar yang menghampiri saya saat saya berkata bahwa saya membaca minimal dua buku setiap harinya. Mereka menyangka saya hanya bercanda, atau mungkin mengira saya membaca buku anak. Saya tidak bercanda, namun saya ingin memberikan sudut pandang lain dalam kebiasaan membaca kita. 

Membaca satu buku bukan berarti kita harus membaca from cover-to-cover, dari halaman satu hingga halaman terakhir. Bacalah, walau hanya satu bab, bahkan jika hanya satu halaman buku. Jika sebuah buku ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi kita saat membacanya, berhentilah membaca dan lanjutkan membaca buku lain. Life is short, don’t finish bad books.  

Buku bukan hanya kumpulan goresan tinta dan lembaran kertas, buku adalah informasi. Bahkan DNA kita pun seperti buku dengan kumpulan informasi yang bisa dinyalakan dan dimatikan sewaktu-waktu, seperti itu pula kita menyikapi buku.

Jutaan buku berisi jutaan informasi telah beredar di dunia, pilihlah informasi yang Anda perlukan saat ini. Buku yang tepat biasanya datang pada pembaca yang siap.  

Buku bisa membawa Anda ke tempat yang sama sekali tidak Anda rencanakan, kuncinya adalah untuk mengizinkan inspirasi Anda membawa Anda ke tempat baru.

Saya datang pada Steve Jobs melalui buku biografinya untuk menimba ilmu tentang entrepreneurship. Di situ saya mengetahui bahwa setiap tahun ia akan membaca ulang sebuah buku. Dan pada pemakaman Steve Jobs, buku ini diberikan kepada tamu-tamu yang hadir sebagai suvenir. 

Buku ini berjudul Autobiography of a Yogi yang ditulis oleh Paramahansa Yogananda. Tanpa menyelesaikan buku Steve Jobs yang saya baca, saya membiarkan rasa keingintahuan saya membawa saya ke buku Autobiography of a Yogi dan menemukan sensasi baru tentang makna pencarian Tuhan dari sudut pandang seorang yogi.  

Buku tak hanya membawa saya pergi berkeliling dunia di luar sana, namun buku juga mengajak saya berpetualang ke dalam hati saya sendiri. Menelusuri setiap sudut pemikiran yang awalnya tidak saya perhatikan. Dengan buku yang saya baca, saya memvalidasi ide-ide saya sendiri yang sudah terinkubasi lama di kepala saya. Buku menjadi penanda buat saya untuk beraksi, melakukan tindakan, sekarang juga. 

Saya punya panggilan untuk membagi apa yang saya baca kepada orang lain, tentu saja ditambahi dengan opini saya sendiri. Dengan segala perangkat elektronik yang kita miliki, kita sudah tidak lagi terlatih untuk mengingat.

Saya tersentak saat saya sedang berbicara di sebuah forum dan tiba-tiba saya kehilangan kata-kata begitu saja, saya mendadak lupa akan apa yang akan saya bicarakan, saat saya sedang membicarakannya!

Books Actually di Tiong Bahru, Singapura, juga menjual beragam stationary unik dan barang seni lainnya. Foto oleh Lewi Aga Basoeki

Ini kekhawatiran saya, bahwa semua yang saya baca akan lenyap tertanam di otak saya sendiri tanpa bisa memberi manfaat lebih untuk diri saya dan orang lain. 

Saya mulai membuat keputusan sadar untuk merekam apa yang saya baca dengan hashtag #NowReading di Tumblr, saya juga akan menuliskan apa yang saya dapat dari sebuah buku dalam sebuah blog post yang pendek.

Saya ikat informasi yang saya dapat dari buku dengan mengamalkannya dalam kehidupan saya sehari-hari. Kemudian saya juga memulai Jakarta Book Club bersama rekan saya Shirley, dengan begitu saya bisa mengingat satu buku secara utuh dan menceritakannya kembali kepada orang banyak. 

Buku menyelamatkan hidup saya berkali-kali. Saat saya tenggelam, buku menjadi pelampung yang menyediakan tempat bersandar hingga saya bisa berenang sendiri kembali ke tepi.

Dengan begitu, pertanyaan (atau pernyataan?) “Saya sibuk, kapan sempat membaca?” menjadi tidak relevan bagi saya. Anda tidak pernah bertanya, “Kapan Anda sempat bernapas?” bukan? Anda harus bernapas, supaya Anda hidup. Buku, bagi saya, mempunyai posisi yang sama pentingnya.  

Tentang format buku sendiri yang sekarang sibuk diperbincangkan, apakah buku cetak akan mati dan e-book akan menggantikan, bagi saya diskusi ini tidak perlu karena masing-masing format ada pecintanya sendiri.

Dan bagi saya, yang terpenting adalah informasi yang terkandung di dalamnya. Untuk bukubuku non-fiksi, saya senang dengan format e-book yang memungkinkan saya mencari dengan kata kunci tertentu dan bisa menemukan informasi yang saya cari dengan mudah.

Untuk bukubuku fiksi dengan nilai emosional tinggi, saya lebih senang dalam bentuk buku cetak, yang tekstur dan beratnya bisa menghangatkan dada saat diletakkan di atasnya, dan aroma kertasnya bisa memperdalam rasa.   

Saya ingat kata-kata teman saya, Pandji Pragiwaksono. Sebenarnya yang penting bukan menumbuhkan minat baca, tapi menumbuhkan minat. Minat pada apapun. Jika kita tidak berminat, bagaimana kita punya ketertarikan untuk menggali informasi lebih dalam tentang suatu topik? 

Saya membaca untuk menemukan kata kunci, kata kunci yang kemudian saya cari kembali di Google untuk mendapat referensi baru, dan kembali lagi ke buku untuk menemukan gagasan yang lebih luas.

The more I know, the more I want to know. Life’s been colorful and exciting this way. I know no other way to live. —Rappler.com

Aulia Halimatussadiah (Ollie) adalah seorang penulis yang sudah menerbitkan 27 buku. Dia adalah co-founder dan CMO nulisbuku.com, situs self-publishing pertama di Indonesia. Ollie juga mengepalai salah satu toko buku online ternama di Indonesia, kutukutubuku.com. Follow Twitter-nya di @salsabeela.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!